Membangun Kota dengan Pengetahuan Membangun Kota dengan Pengetahuan

Membangun Kota dengan Pengetahuan

Diskusi ketiga menuju Jakarta Innovation Days 2025 berlanjut di Hotel A-One, Jalan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, pada 23 September 2025. Bertema Building Cities with Knowledge, exploration talks ini menghadirkan tiga narasumber: Dr. Prakoso Bhairawa Putera (Direktur Perumusan Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi, Badan Riset dan Inovasi Nasional), Dr. Bagus Muljadi (Asisten Profesor Teknik Lingkungan dan Kimia, Universitas Nottingham, Inggris), serta Sulfikar Amir, Ph.D. (Associate Professor Sekolah Ilmu Sosial, Universitas Teknologi Nanyang, Singapura).

Strategi Memperkuat Ekosistem Riset dan Inovasi

Prakoso mengawali paparannya dengan Kebijakan Perkotaan Nasional (KPN) 2045 yang baru dirilis Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). KPN 2045 menekankan, kota bukan hanya ruang fisik, tetapi juga cerminan nilai, harapan, serta komitmen bersama untuk merawat kehidupan. Sebagai metropolitan, Jakarta perlu mengembangkan tata kelola multipihak (multi-stakeholder governance) dan lingkungan inovatif (innovative milieu), agar berdampak nyata bagi warga.

KPN 2045 juga mengadopsi Sustainable Development Goals (SDGs) serta New Urban Agenda (NUA), dengan prinsip kota inklusif yang berbasis inovasi sosial dan teknologi. Ini menjadi dasar riset dan inovasi perkotaan yang harus mengintegrasikan aspek sosial, teknologi, lingkungan, serta budaya.

Posisi Jakarta masih rendah dalam Sustainable Cities Index, yakni peringkat 75 dari 100 kota. Sedangkan dalam Global Power City Index, peringkat Jakarta ke-45 dari 48 kota. Posisinya berada di atas Kairo, Mesir; Johannesburg, Afrika Selatan; dan Mumbai, India. Tetapi, masih di bawah kota-kota Asia lain, seperti Bangkok, Thailand (39); Kuala Lumpur, Malaysia (41); serta Fukuoka, Jepang (42).

Peringkat tersebut diukur khususnya pada aspek Research and Development (R & D), lingkungan, dan transportasi. Hal ini memperkuat urgensi ekosistem riset inovasi perkotaan, untuk meningkatkan daya saing global. Hingga kini, menurutnya, Jakarta lebih dilihat sebagai giant domestic hub ketimbang magnet global. Karena itu, Jakarta bisa belajar dari kota-kota Asia lain, semisal Bangkok dan Kuala Lumpur, yang lebih tinggi peringkatnya dalam cultural interaction serta livability, meski sama-sama menghadapi urbanisasi cepat.

Prakoso menandaskan, transformasi menuju kota berdaya saing internasional membutuhkan investasi besar di tiga bidang. Pertama, inovasi dan riset, berupa kolaborasi riset, startup, serta R & D corporate. Kedua, perbaikan lingkungan perkotaan, seperti udara bersih, tata kelola air, dan mitigasi banjir. Ketiga, penguatan daya tarik budaya global.

Untuk memperkuat ekosistem riset dan inovasi di Jakarta, ia mengusulkan agar Jakarta berfokus pada smart city, transportasi cerdas, energi terbarukan, pengelolaan sampah, serta sistem drainase. Strateginya dengan pemberian insentif pajak untuk kegiatan R & D, perlindungan kekayaan intelektual, regulatory sandbox untuk teknologi baru yang dapat mendorong pertumbuhan start-up dan adopsi inovasi, insentif dan regulasi pro-inovasi, mendorong penggunaan big data analytics, Internet of Things (IoT), serta literasi digital dalam pengelolaan kota. Hal ini bisa memperkuat Jakarta sebagai living lab riset digital untuk mendukung kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy).

Riset Interdisipliner dan Kota Inovatif

Bagus membuka presentasinya dengan tiga fungsi kota, yaitu sebagai tempat tinggal (habitat), memori kolektif warga, dan tahap awal sebelum dieksekusi pemerintah pusat semisal dalam pembangunan giant sea wall. Fungsi pemerintah kota pun ada tiga, yakni menyediakan infrastruktur, mengurus keuangan/moneter, serta ketahanan. Karena itu, riset-riset interdisiplin penting buat memajukan kota.

Sementara itu, lewat Zoom, Sulfikar mengungkapkan tiga cara membentuk innovation hub kota. Pertama, dengan top down dari pemerintah mengajak warga. Kedua, dari komunitas tanpa campur tangan pemerintah, seperti Silicon Valley di California, Amerika Serikat. Ketiga, pemerintah secara top down berkelindan dengan komunitas yang bottom up.

Ia menggambarkan sebuah kota yang inovatif  mengembangkan secara aktif dan mengintegrasikan ide, pengetahuan, teknologi, serta pendekatan yang baru untuk memperbaiki berbagai aspek kehidupan kota, termasuk infrastruktur, pertumbuhan ekonomi, maupun layanan sosial.

 

 

Artikel Terkait
Aksesbilitas
Perbesar Text
Kecilkan Text
Readable Font
Atur Ulang / Reset