Dari Cafe hingga Ballroom: Diskusi Jakarta Innovation Days 2025 Dari Cafe hingga Ballroom: Diskusi Jakarta Innovation Days 2025

Dari Cafe hingga Ballroom: Diskusi Jakarta Innovation Days 2025


Ada yang unik dalam Jakarta Innovation Days keempat yang berlangsung di Dukuh Atas, Jakarta Pusat, pada 21-24  Oktober 2025. Selusin arena, dari cafe hingga ballroom, menjadi tempat perbincangan di kawasan Transit Oriented Development (TOD) seluas 400 meter persegi ini. Kawasan yang menjadi titik temu lima moda transportasi umum: Mass Rapid Transit (MRT), Light Rail Transit (LRT), Kereta Commuter Line, Kereta Bandara Soekarno-Hatta, serta bus Transjakarta.

Di Pan Cafe, Jalan Blora, pada Kamis siang, 23 Oktober 2025, misalnya, percakapan unik dan intim terjadi. Bintangnya Taufiq Supardi, Ketua Rukun Tetangga (RT) 8, Rukun Warga (RW) 4, Malaka Jaya, Jakarta Timur. Doktor yang Aparatur Sipil Negara (ASN) eselon tiga Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ini dua kali diundang ke Cina, hingga disyuting televisi Negeri Tirai Bambu tersebut. Berkat inspirasinya yang menggerakkan warganya untuk beternak ikan lele di saluran air depan rumah masing-masing.

"Selama ini, RT hanya mengurus data warga dan bantuan sosial (bansos), belum menjadi penggerak sosial-ekonomi" katanya. Inisiatif datang dari model kepemimpinannya yang kolaboratif di tingkat akar rumput. "RT bukan sekadar struktur administratif, tetapi governance cell yang dapat menjembatani negara dengan masyarakat. RT adalah satuan hidup terkecil, bukan hanya satuan administrasi. Dari sinilah ekologi, ekonomi, serta etika warga berakar", tuturnya.

Di RT8 RW4 Malaka Jaya, RT bisa menjadi pusat inovasi, bukan cuma pusat administrasi. Bahkan, mereka mempraktikkan ayat 3 pasal 33 UUD 1945 yang digagas Bung Hatta, "Bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Amanat konstitusi dijalankan di level terdekat rakyat, dengan blue print 2023-2029  berupa ketahanan pangan, ekonomi, lingkungan, serta digitalisasi.

"Kami tak menunggu program datang kepada warga. Namun, warga yang menciptakan programnya", tegas Taufiq. Inovasinya berupa Kolam U-Ditch Dua Lantai yang memanfaatkan ruang sempit untuk pangan bergizi. Satu lorong sepanjang 14 meter kolam merupakan lapangan kerja baru. Air pun tetap mengalir, tapi di atasnya ekonomi mengalir pula. "Inilah praktik kecil Pasal 33 UUD 1945 di gang padat penduduk", tambahnya bangga.

Inovasi tersebut bukan hanya mengubah lingkungan, tapi juga menurunkan biaya hidup warga dan membuka lapangan kerja. Kelompok Tani Bersama Tumbuh Maju (Poktan BTM) dibentuk, dengan membagi hasil secara adil: 80% untuk pengelola dan 20% buat Poktan. Tiga prinsip dipegang erat, dari transparan, akuntabel, sampai digital. Bila 1 RT dapat mempekerjakan 9 warga, berarti 30.511 RT yang ada di Jakarta bisa mempekerjakan 274.599 orang.

Taufiq pun membuat Laporan Keuangan, Iuran Warga, dan Dana Operasional Gubernur dengan memanfaat teknologi digital, agar transparan sehingga menjadi fondasi kepercayaan. "Kini warga bisa tahu siapa yang menerima, berapa yang tersisa, dan ke mana dana berjalan", ungkapnya. Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) berdaya 10 kilowatt puncak (kWp) akan dibangun pula di kawasan padat penduduk ini, untuk pompa air, aerator kolam, penerangan warga, serta edukasi energi.

Jadi, masyarakat kota yang berpenghuni padat pun dapat menjadi laboratorium energi, pangan, dan data nasional yang mandiri, tanpa harus menunggu program pemerintah. International Board of Standards di Amerika Serikat mengakui RT 8 sebagai "proof of concept" yang sangat kuat pada 2026. "Kami siap membuka RT 8 sebagai tempat belajar bagi RT lain, living lab untuk replikasi di seluruh DKI Jakarta", urainya.

"Masa depan kota tidak hanya ditentukan oleh gedung-gedung tinggi, tapi juga oleh lorong-lorong kecil yang berani bermimpi besar. RT 8 adalah satu percikan kecil dari api besar kemandirian bangsa", papar Taufiq menutup presentasinya. Tepuk tangan panjang diberikan kepada pewaris penjajah Jepang, RT dan RW, yang kini tidak lagi digunakan untuk mengontrol masyarakat, melainkan supaya warga mandiri. Berdikari, seperti wasiat Bung Karno, berdiri di atas kaki sendiri.

Dari tema Together, We Innovate City di sebuah kafe informal, diskusi berlanjut ke Thamrin Nine Ballroom, Jalan M.H. Thamrin, yang lebih formal. Dengan tema Reinventing Culture and Tourism for the City, sejarawan dan budayawan, Hilmar Farid, membeberkan pengalamannya selama sembilan tahun menjabat  Direktur Jenderal Kebudayaan. "Ketika Dirjen Kebudayaan, saya menjadi pejabat administrasi. Walaupun doktor dalam bidang cultural studies, saya menunjuk kurator untuk menilai sebuah produk budaya layak atau tidak. Jadi, pisahkan jabatan birokrat dengan selera pribadi", tegasnya.

Ia pun menyarankan, produk budaya yang dikurasi lebih baik sedikit tapi berkualitas baik, daripada banyak namun biasa saja kualitasnya. "Indonesian Dance Festival yang sudah 25 tahun, misalnya. Reputasinya telah berskala internasional, tetapi setiap tahun pengelolanya masih menawarkan proposal ke mana-mana untuk mendapatkan dana", tutur doktor National University of Singapore ini dengan disertasi tentang sastrawan Pramoedya Ananta Toer itu.

Fay, demikian panggilannya, menekankan penandaan wilayah Jakarta berdasarkan comparative advantage kulturalnya, guna identitas pengembangan wisata di kota ini. Contohnya, Kota Tua sebagai kawasan heritage, Cikini sebagai kawasan seni, Pasar Baru sebagai kawasan belanja, Blok M sebagai kawasan kuliner, dan sebagainya. Selain itu, perlu dilibatkan pula komunitas yang hidup di sana serta kurasi objektif dari ahli.

Diskusi berlanjut hingga malam di JCO Reserve AI Hotel Thamrin. Tiga arsitek memantik perbincangan bertopik Performative Architecture: Rethinking Jakarta in an Age of Urban Challenges. Cosmas Gozali antara lain menyoroti komunikasi sebagai kunci kolaborasi dengan warga, seperti dalam pembangunan Rumah Susun Kampung Kunir. Hal itu diamini Ketua Ikatan Arsitek Indonesia, Budi Yulianto, yang meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta jangan main gusur. "Lebih baik tanyakan, keinginan warga apa? Seperti saya bikin perpustakaan bagi warga kampung di balik bangunan-bangunan mewah di Kemang", tambah Diana Nazir.

Artikel Terkait
Aksesbilitas
Perbesar Text
Kecilkan Text
Readable Font
Atur Ulang / Reset