Dari Neruda sampai Soto Betawi Tanpa Santan: Diskusi dan Peluncuran 8 Buku Kolaborasi Tempo Dari Neruda sampai Soto Betawi Tanpa Santan: Diskusi dan Peluncuran 8 Buku Kolaborasi Tempo

Dari Neruda sampai Soto Betawi Tanpa Santan: Diskusi dan Peluncuran 8 Buku Kolaborasi Tempo


Chief Executive Officer (CEO) Tempo, Arif Zulkifli, menyerahkan delapan buku kepada Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi DKI Jakarta, Atika Nur Rahmania, di Hotel Millenium, Jakarta Pusat, pada Rabu petang, 18 Desember 2025.  Buku-buku ini merupakan hasil kerja sama Tempo dengan Pusat Riset dan Inovasi Daerah (PRID) Bappeda Jakarta. "Awalnya, pada 31 Desember 2024, kami dibantu Tempo sebagai knowledge partner dalam acara Bentang Harapan Menuju 500 Tahun Jakarta. Delapan buku ini mendorong semangat untuk menggerakkan masyarakat agar memperingati dan memaknai momen 500 tahun Jakarta,” tutur Atika. Sedangkan Arif berharap, kedelapan buku ini dapat dipublikasi secara masif, supaya warga Jakarta lebih mengenal kotanya. "Orang kan banyak enggak tahu, penyair peraih Nobel asal Chili, Pablo Neruda, pernah menjadi konsul di Batavia pada 1930-an. Ia juga menikah dan menulis puisi di kota ini, luar biasa kan,” jelasnya. 

Wartawan dan mantan jurnalis Tempo menulis buku-buku tematik berbasis riset ini selama delapan bulan. Berbasis riset karena ditulis lewat penelitian. Dilanjutkan Focus Group Discussion (FGD) dengan sejarawan, ahli tata kota, pemerhati kuliner, dan sebagainya. Lalu diperdalam dengan survei tentang delapan tema, yaitu: Event, Kuliner, Ekonomi Malam, Sastra, Transportasi Publik, Sejarah, Maritim, serta Kampung Kota. Kemudian diteruskan dengan reportase dan wawancara mendalam. Dilengkapi studi banding dengan negara-negara lain, seperti Singapura dan Thailand. Akhirnya jadilah delapan judul buku, yakni: Jejak Lidah Jejak Selera; Geliat Asa Kampung Kota; Seribu Kaki Halte Kota; Pulang Lagi ke Bahari; Mosaik Kota Menjelma Bangsa; Buku, Kata Sepanjang Usia; Tak Tidur Berpendar Cahaya; serta Berpumpun Berdentam Langgam Jakarta. Lima narasumber membahasnya, dari pemerhati kuliner, Ade Putri Paramadita; Direktur Program Rujak Centre, Dian Tri Irawati; sejarawan maritim, Didik Pradjoko; arsitek dan sastawan, Avianti Armand; dan peneliti event, Nalindro Nusantara.

Nalindro membahas ekonomi malam Jakarta, sejak pukul enam petang hingga enam pagi. Ia juga menyoroti event di Jakarta yang pada 1980-an mudah mem-branding-nya, bersamaan televisi- televisi swasta bermunculan. Menurutnya, buku-buku ini penting untuk mengenal Jakarta, bahkan dapat direplikasi kota-kota lain.

Sedangkan Ade mengungkapkan, 36% sumbangan kuliner terhadap Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Jakarta. Dari ribuan titik kuliner di Jakarta, Tempo menulis 500 titik dengan ciri kuliner warisan di Jakarta Pusat, kuliner urban di Jakarta Selatan, kuliner peranakan di Jakarta Barat, serta kuliner pesisir di Jakarta Utara. Ia mengakui, Jakarta bukan tempat terbaik untuk mencari makanan. Tapi, ia menandaskan, semua ragam kuliner ada di Jakarta. Ia hanya menyayangkan, sekarang makanan bukan berkembang karena budaya, namun disebabkan persaingan bisnis. Ade mencontohkan opor ayam Betawi tanpa santan di Kemang yang satu-satunya di Jakarta.

Sementara Avianti menggarisbawahi posisi Jakarta sebagai city of literature yang ditetapkan United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO). Ia menilai, buku ini cukup komprehensif tentang ekosistem sastra. Sebab belum ada riset mengenai itu. Tetapi, ia menyayangkan kritik sastra yang hanya ada dua: Tengara oleh Dewan Kesenian Jakarta dan Kalam oleh Komunitas Salihara. Ia menyoal pula festival-festival sastra yang tak mengundang penulis-penulis marjinal. Namun, Avianti mengapresiasi penulis-penulis baru, penerbit-penerbit independen, serta Perpustakaan Jakarta yang buka hingga malam hari di Taman Ismail Marzuki.

Sebagai sejarawan, Didik menekankan peran mahasiswa Sekolah Tinggi Hukum yang berdiri di Batavia pada 1924 seperti Wongsonegoro. Sekolah ini dibuka di antara masa Sekolah Tinggi Teknik di Bandung pada 1920 semisal Soekarno, dan Sekolah Tinggi Kedokteran di Batavia pada 1927 contohnya Suwiryo, Wali Kota Jakarta pertama. Ia pun menjelaskan warisan kemaritiman sejak Pelabuhan Sunda Kelapa. Didik juga menguraikan beberapa perubahan di Jakarta, misalnya perubahan masyarakat Marunda dari nelayan menjadi pengepul kayu. Pun air Ciliwung yang pada 1500-an masih manis, namun tuak Sunda Kelapa yang jika diminum dengan kismis menjadikannya mirip anggur Eropa.    

Artikel Terkait
Aksesbilitas
Perbesar Text
Kecilkan Text
Readable Font
Atur Ulang / Reset