Sekitar 1.200 kapasitas tempat duduk di Teater Besar, Taman Ismail Marzuki (TIM), terisi pada hari terakhir Jakarta Future Festival (JFF), 15 Juni 2025 lalu. Mayoritas hadirin adalah dua generasi yang hidup pada era digital, yakni Generasi Z yang lahir pada 1997-2012 dan Alpha yang lahir pada 2010-2025. Anak-anak muda yang kerap disebut generasi nunduk, karena selalu asyik dengan handphone dalam kehidupan sehari-hari.
Tetapi, sore itu mereka tegak di kursinya masing-masing, menyimak Bagus Muljadi, Asisten Profesor di Nottingham University, Inggris, dan Hilmar Farid, sejarawan yang menyabet gelar doktor di National University of Singapore serta mantan Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dua cendekiawan yang berbicara dalam sesi Talks JFF 2025 bertema Empowering Jakarta's Youth for a Global Future.
Bagus membuka percakapan diskusi dengan provokasi tandas, "Inkompetensi akan membunuh lebih banyak orang." Alumnus Institut Teknologi Bandung yang sehari-hari bergelut dengan model matematika dan fisika ini mensinyalir, pemuda Indonesia kurang mengetahui kekayaan budaya negerinya sendiri. Misalnya, mereka hanya mengenal Bali dari wisatanya. Padahal, subak merupakan warisan kecerdasan leluhur dalam irigasi pertanian tradisional di Pulau Dewata.
Sedangkan Hilmar membeberkan berbagai masalah mendasar yang dihadapi anak-anak muda masa kini dan mengancam masa depan mereka, yakni:
1. Krisis iklim global.
2. Ketimpangan sosial.
3. Disrupsi teknologi.
4. Krisis legitimasi politik dan demokrasi.
Belajar dari pembangunan Borobodur yang berlangsung selama 75 tahun, Hilmar menawarkan visi jauh minimal 50 tahun ke depan. Paling tidak ia menyarankan tiga kualitas esensial yang mesti dimiliki pemuda:
1. Kesadaran kritis dan historis.
2. Empati sosial dan keberanian moral.
3. Kemampuan belajar dan berkolaborasi (mengembangkan diri secara berkelanjutan dan bekerja sama lintas batas).
Hilmar Farid merekomendasikan beberapa bidang studi yang akan menjadi bekal generasi muda pada masa depan, antara lain:
1. Arsitektur sosial.
2. Data dan statistik publik.
3. Desain komunikasi visual.
4. Ekonomi solidaritas.
5. Energi terbarukan.
6. Film.
7. Arsip.
Ia mengajak anak-anak muda untuk sering berdialog di ruang publik seperti JFF. Hilmar juga menekankan dialog ilmuwan dengan seniman, sebagaimana di Jakarta Future Festival. Demi masa depan yang lebih baik, termasuk Jakarta yang ditargetkan akan menjadi 50 besar kota global pada 2030 dan 20 besar pada 2045. Generasi Z serta Alpha yang kelak mengalaminya di Jakarta 20 tahun mendatang.
Sementara, di luar Teater Besar TIM, sekitar seratus penari anak dan remaja unjuk kebolehan di arena Misbar (Gerimis Bubar) JFF 2025. Mereka duel menari Betawi dan hip hop. Sebuah kolaborasi unik yang seakan menyambut ajakan kolaborasi Hilmar Farid serta menjawab keprihatinan Bagus Muljadi yang prihatin menyaksikan ketidakpedulian anak muda terhadap kearifan budaya tradisional. JFF 2025 memang ajang masyarakat, terutama Generasi Z dan Alpha, untuk berkolaborasi membentuk masa depan Jakarta.