Berbagai konsep pembangunan kota terus dijalankan, lalu dikaji ulang, hingga diperbarui. Yang belakangan trendy adalah placemaking, yakni pemanfaatan ruang publik agar lebih berkualitas dengan melibatkan warga, sehingga memperkuat rasa memiliki, kohesifitas sosial, serta menghidupkan komunitas.
Inilah yang mengemuka dalam Exploration Talks: Places that Make Cities di i-Hub, Jakarta Pusat, pada 16 September 2025. Forum tersebut merupakan bagian dari Road to Jakarta Innovation Days (JID), yang akan berlangsung di Kawasan Dukuh Atas, pada 21-25 Oktober 2025.
Pengertian dan Latar Belakang Placemaking
Guru Besar Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Kemas Ridwan Kurniawan, mengungkapkan, istilah placemaking pertama kali diperkenalkan Lynda Schneekloth dan Robert Shibley dalam buku Placemaking: The Art and Practice of Building Communities pada 1995. Intinya sederhana, yakni warga diajak terlibat langsung dalam menciptakan lingkungan hidup yang bermakna, dari menjaga di sekitar kediamannya hingga ikut dalam perencanaan kota.
Ia menambahkan, organisasi nirlaba, Project for Public Spaces (PPS), lalu memopulerkan gagasan itu. Karena wargalah yang paling tahu apa yang terbaik bagi lingkungannya sendiri, PPS mendorong desain ruang publik yang partisipatif, kontekstual, serta berbasis potensi lokal.
"Placemaking muncul sebagai kritik terhadap tata kota modernis pasca-Perang Dunia II yang seragam dan tak peka terhadap kebutuhan sosial. Lewat lebih dari 3.000 proyek di 43 negara, termasuk Asia, PPS membuktikan, pendekatan ini bisa diterapkan di berbagai skala, dari pusat kota hingga lingkungan kecil,ââ¬Â tutur Kemas.
Menurutnya, inilah kekuatan placemaking. Sebuah pendekatan universal yang mampu mengembalikan makna ruang, terutama di kawasan yang dulu dibangun tanpa memikirkan budaya dan dinamika sosial setempat.
Placemaking: Strategi Kolaboratif untuk Ruang Publik Jakarta
Narasumber kedua, Widiyani, dari Program Studi Arsitektur, Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung, menekankan peran komunitas dalam placemaking melalui proyek kecil berkelanjutan, sehingga masyarakat dapat membangun lingkungan yang lebih kuat, merasa terhubung, serta berdaya dalam mengelola ruang hidup mereka. Jadi, selain memperbaiki ruang publik, placemaking sekaligus meningkatkan kualitas hidup orang-orang yang menggunakannya.
Ia menyebut placemaking sebagai tactical urbanism berupa langkah kecil yang berdampak besar. Placemaking identik kolaborasi komunitas, misalnya, dalam Kampung Hijau. Warga mengubah gang menjadi kebun komunitas yang membuat udara lebih bersih dan hubungan sosial menguat.
"Placemaking juga bisa berupa kolaborasi pemerintah dengan komunitas. Contohnya, Dukuh Atas didesain ulang dengan memprioritaskan anak dan remaja. Fitur utamanya area bermain, tempat duduk teduh, serta jalur skateboard yang ramah pemuda. Dampaknya 30% peningkatan pengguna harian dan konflik antarkelompok usia berkurang,ââ¬Â paparnya.
M Bloc lain lagi. Widiyani mengilustrasikan placemaking di sana sebagai kolaborasi swasta dengan komunitas. Sebagai hub kreatif anak muda, M Bloc memadukan kafe, co-working space, serta ruang seni. Proses perencanaannya melibatkan pengembang, seniman lokal, maupun warga sekitar. Hasilnya meningkatkan jumlah pejalan kaki dan menggerakkan ekonomi lokal.
Placemaking Rumah Flat Menteng
Saat berbicara dalam diskusi seru ini, arsitek dan urbanis pendiri Rujak Center of Urban Studies, Marco Kusumawijaya, menceritakan placemaking Rumah Flat Menteng Empat Lantai di Jalan Rembang, Jakarta Pusat. Rumah tapak keluarga tunggal (single-family landed house) seluas 120 meter persegi disulap menjadi rumah susun keluarga majemukââ¬Â¨(multi-family medium-rise appartment) empat lantai. Satu lantai dasar berupa fasilitas umum seperti toko buku atau rumah makan. Sedangkan tiga lantai di atasnya dihuni 5-7 keluarga.
Berdasarkan Peraturan Gubernur Nomor 31 Tahun 2022, Rumah Flat Menteng Empat Lantai merupakan terobosan untuk mengatasi masalah hunian dan tanah yang mahal di kota sepadat Jakarta. Dibangun dengan ketinggian menengah, di atas tanah relatif kecil seluas 170 meter persegi, setiap keluarga bisa menjadi pengembang (supplier off-grid). Caranya dengan penggalangan dana bersama melalui koperasi. "Harga tanah naik, karena dapat membangun tinggi. Bukan harus membangun tinggi, karena harga tanah naik,ââ¬Â jelas Marco.
Sebab dapat dibangun sendiri dengan modal kecil, tanpa perlu melibatkan perusahaan properti, demokratisasi supply terbentuk. Hidup bertetangga dengan gedung di sebelahnya dan membuat penghuninya sehari-hari berjalan kaki karena dekat kawasan Transit Oriented Development (TOD) Dukuh Atas, keberagaman jadi lebih tinggi di Jalan Rembang.
Placemaking M Bloc Space
"Placemaking adalah proses multidisiplin yang menciptakan sebuah ruang publik berkualiatas di mana orang-orang ingin makan, bekerja, tinggal, serta belajar di dalamnya,ââ¬Â tutur Co-Founder M Bloc Group, Jacob Gatot Sura. Ia menggambarkan placemaking kreatif sebagai penggunaaan kegiatan seni dan budaya untuk meremajakan ruang publik.
Ia mencontohkan M Bloc Space di Jakarta Selatan yang mulai bangkit pada 2019 sebagai ruang publik inklusif. Penggunaan kembalinya adaptif, tidak ada tempat parkir, dengan partisipasi komunitas, serta produk lokal. Dampaknya sekitar 30.000 pengunjung setiap pekan dengan 150 event per tahun. Sebuah model aktivitas penggunaan ruang kembali yang menumbuhkan budaya jalan kaki, lingkungan dan bisnis nan nyaman, banyak acara menarik, sehingga menjadi salah satu Distrik Kreatif Jakarta.
Jacob juga membandingkan dengan Pos Bloc di Medan yang diaktivasi kembali pada 2022. Model sewa guna usaha komersial dengan merenovasi ruang untuk disewakan bagi dunia usaha, dengan memfokuskan wilayah yang permintaannya tinggi untuk memaksimalkan pendapatan.
Sedangkan Lokananta Bloc di Solo yang dihidupkan kembali pada 2023 merupakan kerja sama swasta dengan pemerintah, untuk membiayai dan membangun proyek yang melayani kebutuhan komunitas, dengan menanggung risiko keuangan bersama.