Sebuah diskusi menarik bertajuk Reaching Jakarta in 15 Minutes berlangsung di Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG), Kampus Universitas Indonesia (UI) Salemba, Jakarta Pusat, pada 18 September 2025. Acara ini diadakan Badan Perencanaan Pembangunan (Bappeda) Provinsi DKI Jakarta menjelang Jakarta Innovation Days di Kawasan Dukuh Atas, Jakarta Pusat, pada 21-25 Oktober 2025. Tiga pakar menjadi narasumber, yakni: Guru Besar Arsitektur UI, Gunawan Tjahjono; Akademisi Kajian Pengembangan Perkotaan, Lin Yola; serta Guru Besar Fakultas Teknik UI, Jachrizal Sumabrata.
Jakarta Kota 15 Menit Mungkinkah?
Konsep 15 minutes city menempatkan aksesibilitas sebagai prioritas utama untuk menjangkau fasilitas publik esensial, dari tempat kerja, sekolah, layanan kesehatan, pusat perbelanjaan, hingga ruang hijau, hanya dalam waktu 15 menit dari tempat tinggal, baik dengan berjalan kaki, bersepeda, atau bertransportasi umum.
Prof. Gunawan membuka paparannya dengan urgensi berjalan atau bersepeda dalam kota 15 menit. Dengan bergerak, manusia semakin sehat. Maka dalam 15 minutes city, kita berkesempatan luas berjalan kaki atau bersepeda untuk mencapai titik-titik pelayanan yang dituju.
Masalahnya, dalam cuaca Jakarta yang relatif panas, 15 menit berjalan kaki akan berkeringat. Tak semua pula manusia mampu berjalan kaki atau mengayuh sepeda.
Menurut Gunawan, kalau dalam lima menit, warga Jakarta masih mau berjalan atau bersepeda. Namun, lima menit belum memenuhi baku kesehatan raga.
Ia lalu mengungkapkan prasyarat 15 minutes city, yaitu:
1. Menata-ulang ruang kota sesuai titik singgah dan titik pelayanan.
2. Lima menit perjalanan mencapai titik pelayanan amat baik, meski belum sesuai baku sehat raga.
3. 15 menit dengan angkutan umum atau sepeda listrik masih memungkinkan.
4. Jika 15 menit menjadi syarat, maka perlu fasilitas menampung alat singgah dan bersih keringat (mandi).
Gunawan menegaskan, sudah waktunya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memprioritaskan mobilitas ragawi dan angkutan umum. Yang perlu dipikirkan, apakah dikunci dalam waktu 15 menit dan apa dasarnya?
Ia pun mengusulkan peran masjid sebagai titik sentral 15 minutes city, karena merupakan bangunan fasilitas umum yang paling banyak di Jakarta. Selama ini, tambahnya, masjid hanya ramai sekali sepekan pada Jumat. Fungsinya hanya menjadi tempat sakral, bukan pusat keseharian hidup warga Jakarta yang mayoritas muslim.
Jakarta Kampung Kota 15 Menit
Akademisi Kajian Pengembangan Perkotaan, Universitas Indonesia, Lin Yola, mengawali presentasinya dengan berbagai problem klasik Jakarta. Dari kemacetan dan mobilitas yang tidak efisien, masalah lingkungan semisal polusi udara, banjir, sampah, permukiman kumuh, kualitas hidup yang rendah, tata kelola kota, hingga tantangan globalisasi.
Dengan mengutip Moreno pada 2021, ia juga membeberkan karakter 15 minutes city, yakni:
1. Aksesibilitas dan mobilitas;
2. Layanan dasar dan fasilitas publik;
3. Ekonomi lokal;
4. Ruang terbuka dan lingkungan;
5. Tata ruang dan tata kelola;
6. Keadilan sosial dan inklusivitas;
7. Ketahanan dan kesehatan lingkungan.
Lin juga menghitung rata-rata berjalan kaki selama 5 menit dapat menempuh 0.4 kilometer, 15 menit berjalan kaki menempuh 1,2 kilometer, 5 menit bersepeda menempuh 1,6 kilometer, serta 15 menit bersepeda menempuh 4,8 kilometer.
Ia pun meneropong kearifan lokal Jakarta yang banyak memiliki kampung kota. Misalnya Dukuh Atas dan Tanah Abang di Jakarta Pusat, Manggarai dan Bukit Duri di Jakarta Selatan, serta Kali Apuran/Tambora di Jakarta Barat,
Menurutnya, konsep kota 15 menit relevan jika diterapkan di kampung kota Jakarta. Sebab, secara alami, kampung kota sudah memiliki karakter mixed-use neighborhood dengan hunian, perdagangan kecil, jasa, aktivitas sosial, rekreasi, serta kemudahan akses yang dekat dengan kehidupan sehari-hari warga.
Kampung kota, tambahnya, bisa menjadi model percontohan kota 15 menit versi Jakarta. Tanpa harus membangun fasilitas baru, cukup memperkuat kampung kota dengan akses layanan, transportasi lokal, ruang hijau, serta ekonomi, warga akan menciptakan kawasan yang inklusif, berkelanjutan, dan sesuai karakter lokal.
Lin Yola menandaskan, kampung kota bisa diubah menjadi 15-minutes neighborhood yang fungsional, inklusif, serta berketahanan. Caranya dengan memperbaiki infrastruktur dasar, mendekatkan layanan publik, memperkuat ekonomi warga, dan menghubungkan kampung ke jaringan transportasi massal. Dengan pendekatan ini, Jakarta bisa punya model kota 15 menit versi lokal, berbasis kampung yang memang sudah hidup dan berfungsi sebagai pusat komunitas.
Dari Zona Sekolah sampai Jalur Sepeda
Lewat Zoom, Prof. Jachrizal Sumabrata menegaskan, Jakarta sangat mungkin menjadi 15 minutes city. Cikal bakalnya terlihat seperti dalam zonasi siswa sekolah yang telah diterapkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Karena sekolah tak jauh dari rumah, siswa bisa berjalan kaki atau bersepeda. Orangtua tak perlu mengantar anaknya dengan kendaraan pribadi, sehingga mengurangi kemacetan.
Jalur sepeda pun telah ada di Jakarta. Namun, ia menyarankan, jangan hanya di jalan-jalan utama saja, semisal Jalan Jenderal Sudirman dan M.H. Thamrin, tapi juga di jalan-jalan menuju sekolah. Sedangkan angkutan air dari Pulau Panggang ke Pulau Pramuka menjadi cikal bakal 15 minutes city di Kabupaten Kepulauan Seribu.
Jachrizal menjelaskan, layanan penting seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan, rekreasi, serta transportasi harus ada dalam 15 minutes city. Dengan demikian, kedekatan, inklusivitas, dan kesamaan menjadi prinsip utama.
Berkat kota 15 menit, lanjutnya, Jakarta akan lebih hijau dan efisien, emisi karbon serta kemacetan berkurang, kesehatan dan kualiatas hidup pun meningkat karena berjalan kaki. Integrasi MRT, LRT, serta BRT memudahkan mobilitas pula. Kesamaan juga diperoleh warga melalui akses untuk kampung dan wilayah pinggiran. Sebab penghuni permukiman padat kampung kota atau hunian informal kerap kurang dapat mengakses ruang publik berkualitas, klinik, serta sekolah.